LINGGA, – Pertikaian antara Safaruddin, seorang pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lingga, dan seorang oknum wartawan yang terjadi pada Rabu, 23 Oktober 2024, menarik perhatian publik. Ruslan, yang akrab disapa Jagat, menjadi saksi kunci dalam kejadian tersebut dan memaparkan kronologis serta konteks di balik peristiwa itu.
Jagat menjelaskan bahwa insiden tersebut terjadi di sebuah tempat makan bernama Winner di Pancur, Kecamatan Lingga Utara. Ia hadir bersama Safaruddin untuk makan di tempat tersebut. Tanpa adanya rencana oknum wartawan yang kerap kali menyebarkan pemberitaan yang tedensius terhadap Pemkab Lingga tersebut saat itu juga sedang berada di tempat yang sama.
Jagat menekankan bahwa Safaruddin saat kejadian tidak sedang bertugas atau mengenakan atribut resmi pemerintah, keberadaan mereka di lokasi itu dalam rangka makan malam bersama rekan-rekannya.
“Saat itu Pak Safar bukan dalam keadaan dinas jadi kalau di cermati insiden ini terlalu dipolitisir, mungkin karena sedang berlangsung Pilkada,” ujar Jagat.
Menurut Jagat, perselisihan berawal dari tuduhan tedensius Aliasar terhadap istri Bupati Lingga terkait dugaan korupsi di Disperkim Lingga yang menyeret-nyeret nama istri Bupati Lingga. Diketahui, Safaruddin memiliki hubungan keluarga dengan istri bupati, perihal pemberitaan itu Safar merasa tersinggung oleh tuduhan tersebut.
“Safaruddin mengajak Aliasar duel satu lawan satu, dan pemecahan botol adalah bentuk luapan emosinya. Tidak ada pengancaman,” jelas Jagat.
Ia juga menegaskan bahwa tuduhan yang dilontarkan Aliasar tidak memiliki dasar kuat dan dianggap mencemarkan nama baik keluarga Safaruddin.
Jagat meluruskan pemberitaan yang beredar bahwa tidak ada rencana pengepungan maupun ancaman dalam kejadian itu.
“Safar tidak memecahkan botol untuk melukai Aliasar, melainkan memberikan pecahan botol tersebut agar Aliasar bisa menikam Safar, tapi Aliasar tidak berani dia hanya diam saja,” tambahnya.
Jagat menduga dan mencermati bahwa jabatan Safaruddin di Pemkab Lingga disebut-sebut dalam narasi yang dibangun melalui pemberitaan yang beredar terkesan dipolitisir oleh lawan politik calon bupati petahana. Ditambah lagi dalam pemberitaan yang masif dipublikasi menyeret nama Widi Satoto, pejabat Pemkab Lingga yang turut hadir di lokasi saat kejadian itu terjadi.
Padahal, ungkap Jagat, Widi hanya berusaha melerai pertikaian antara Safaruddin dan Aliasar.
“Upaya politisasi dalam kejadian ini jelas sekali, Pak Widi yang tidak tau apa-apa dan saat itu coba melerai pun di libat-libatkan dalam pemberitaan sepihak ini, nama beliau disebut-sebutkan dalam berita,” ungkap Jagat.
Jagat juga menyoroti latar belakang Aliasar yang dianggap kerap menulis berita tendensius dan mengganggu pejabat serta pengusaha di Lingga. Aliasar sering melaporkan isu dugaan korupsi tanpa memberikan ruang klarifikasi atau hak jawab kepada pihak terkait, termasuk isu korupsi bonsai di Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Lingga.
Selain itu, Jagat juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bijak dalam mencerna informasi yang beredar, yang mana produk jurnalis yang aktual dan dapat dipercaya tentu dihasilkan oleh jurnalis yang handal dan telah teruji kompetensi nya, menurut Jagat berdasarkan informasi yang ia terima, Aliasar belum pernah mengikuti uji kompetensi wartawan, dan media tempatnya bekerja juga belum terverifikasi oleh Dewan Pers.
Hal ini, menurut Jagat, menimbulkan keraguan terhadap profesionalitas dan integritas Aliasar dalam menjalankan tugas jurnalistik.
Jagat menegaskan bahwa publik perlu melihat kejadian ini secara objektif dan tidak terjebak dalam narasi politisasi. Kejadian ini juga membuka diskusi mengenai pentingnya profesionalitas dalam dunia jurnalistik, terutama terkait pemberitaan yang berimbang dan berdasarkan fakta.(**)