Tentang Kita
Oleh: Yuanda Isha
Setelah hujan menyinggahi atap rumahmu
Bisu berguguran di jendela
Melukis senyap
Dari sebuah sisi, sanubari
Lalu sebait sajak milik bulan yang tertinggal di kamar
Terabai: atau lebih tepatnya tak tergapai?
Oleh nyanyian jiwa
Oleh rindu yang tak lagi berupa
Senyap menyadap debar dada
Kali kesekian kita diam
Membiarkan angan menikahi sepi
Di dinding waktu
Dalam bilik sebuah ragu
Engkau, aku. Pernahkah menjadi kita?
Sekedar jamah, seputar hiruk pikuk cinta yang sejatinya tak nyata
Kali entah kian menggamangkan keadaan
Kian rindu rancu tak tergenggam
Sepi, aku kamu tak jua mampu memaknai mimpi
Yuanda Isha, lahir di Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Menyukai puisi semenjak SMP dan mulai menulis puisi saat masuk SMU. Buku puisi tunggalnya yang terbit adalah Seribu Satu Puisi (2015), Perempuan Menulis (2017), Sejak Kau Ajari Aku Membaca. Ada pun buku antologi bersama yang memuat karyanya antara lain Etape Pejalan Malam (2014), Nyanyian Asmara Perempuan Luka (2014), Menyemai Ingat Menuai Hormat (2015), Kidung Cinta Yuanita (2015), Blencong (2016), Akar Rumput (2017), Akar Cinta Tanah Air Udara Indonesia (2017), Masih Ada Matahari yang Akan Terbit (2017), Mengunyah Geram: Seratus Puisi Melawan Korupsi (2017), Sergam (2018). Saat ini dia aktif sebagai pengasuh Komunitas Sastra Nusantara yang berada dalam naungan Yayasan Halaman Yuan.
Puisi `Tentang Kita` karya Yuandha Isha memiliki makna yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan percintaan. Setiap kata yang terkandung dalam puisi `Tentang Kita` memiliki makna adanya seseorang dalam kehidupannya.
Setelah hujan menyinggahi atap rumahmu
Bisu berguguran di jendela
Melukis senyap
Dari sebuah sisi, sanubari
Pada bait pertama, mempunyai makna yaitu hujan mendatangi rumah kekasihnya bukan tanpa alasan, tapi untuk mengingatkan setiap detik kenangan, kenangan yang hadir membuat kekasihnya bersikap seakan bisu di hadapan turunnya hujan mengingat kenangan yang dimilikinya, tanpa melakukan sesuatu, baik dari arah mana pun, maupun hati.
Lalu sebait sajak milik bulan yang tertinggal di kamar
Terabai: atau lebih tepatnya tak tergapai?
Oleh nyanyian jiwa
Oleh rindu yang tak lagi berupa
Senyap menyadap debar dada
Pada malam hari seorang penulis yang berada di kamar membuat sebuah puisi untuk mengingat kembali kenangan yang pernah ada di hidupnya bersama sang kekasih, yang saat ini sulit untuk diulang kembali yang kini hanya mampu untuk dikenang, akhirnya penulis hanya bisa mengingat kembali kenangan bersama kekasihnya dengan tangisan, dengan rindu yang tak berwujud, yang tak bersuara bersatu dengan seluruh nafasnya.
Kali kesekian kita diam
Membiarkan angan menikahi sepi
Di dinding waktu
Dalam bilik sebuah ragu
Kejadian yang selalu aku dan kamu lakukan untuk tidak berkata-kata hari ini terjadi lagi, membuat penulis dan kekasih hanya melakukan pandangan terhadap ingatan dengan hening, yang fokus terhadap waktu, dalam sebuah ruang keraguan, kata bilik sendiri memiliki arti ruang atau kamar.
Engkau, aku. Pernahkah menjadi kita?
Sekedar jamah, seputar hiruk pikuk cinta yang sejatinya tak nyata
Penulis yang berpikir dan bertanya-tanya kepada dirinya, pernahkan dia menjalin suatu hubungan, bukankah ia dan kekasihnya hanya sekedar untuk sekedar singgah sebentar, kata jamah sendiri memiliki arti mencicipi sebentar, hanya menambah gaduh tentang percintaan yang tidak nyata.
Kali entah kian menggamangkan keadaan
Kian rindu rancu tak tergenggam
Sepi, aku kamu tak jua mampu memaknai mimpi
Berapa kali selalu merasa takut dan khawatir melihat kondisi saat ini, keadaan yang selalu rindu yang membuat bingung dan tak bisa untuk dimiliki atau diulang kembali, keadaan yang sunyi pun tak dapat untuk penulis dan kekasihnya mengartikan sebuah mimpi apa yang kita inginkan.
Puisi di atas menjelaskan tentang kehidupan percintaan seorang penulis, yang begitu rumit dan ragu dengan perasaan yang dimilikinya. Hubungan percintaan yang tidak bisa untuk dimiliki, hanya bisa untuk mengingat sebuah kenangan milik berdua yang tidak mungkin bisa untuk kembali.
Penulis adalah Mahasiswi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) Tanjungpinang, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.