LINGGATERKINI.COM – Ormas gagak hitam Lingga prihatin dan menyesalkan apa yang diberitakan akhir-akhir ini di Kabupaten Lingga terkait mafia terkesan hanya untuk membuat suasana menjadi keruh dan terasa panas.
Ketua Ormas Gagak Hitam Lingga Ribut Satriawan mengatakan, bahwa dalam praktiknya, tolak ukur dan skala mafia yang diberitakan ini tidak dapat dipastikan sudah objektif atau belum, apa barangkali hanya definisi subjektif yang sengaja dilontarkan untuk menyudutkan suasana.
“Tidak etis rasanya jikalau ini merupakan tindakan provokator,” kata Ribut, Rabu (21/9/2022)
Menurut Ribut akibat ulah oknum yang tidak bertanggung jawab tentunya mengorbankan hajat hidup orang banyak.
“Masalah ini kita bukan lagi bicara masalah profit dan keuntungan pribadi dengan memanfaatkan situasi tertentu, tetapi prioritas kita disini adalah rasa kemanusiaan yang menjadi pertimbangan khusus dalam membuat suatu statement yang sensitif. Masalah serius kita di Kabupaten Lingga adalah menyediakan lapangan kerja yang cukup agar masyarakat kita tidak lagi merongrong kelaparan dan haus pekerjaan,” ungkapnya
Miris rasanya jikalau mengambil pundi kecil dari sumber daya alam dianggap sebagai bentuk praktik mafia.
“Misalnya kayu dihutan yang jumlahnya mungkin hanya untuk melepas makan hari per hari, dengan jerih payah dan kesusahan yang mereka hadapi, ditambah lagi dengan adanya berita ini membuat masyarakat menjadi dilema serta terasa terancam dan ditakut-takuti,” jelasnya
Masyarakat yang bekerja di Kabupaten Lingga dengan memanfaatkan kearifan lokal dianggap sebagai mafia yang harus diberantas.
“Sedangkan kondisi sebenarnya, masyarakat sendiri kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan ditanah tempat mereka tinggal,” bebernya
Ribut menuturkan, bahwa masyarakat terpaksa dan bertaruh hidup hanya untuk makan, bukan untuk menjadi kaya. Terlalu ego jikalau mafia di Kabupaten Lingga dijadikan tolak ukur bahwa penegakan hukum terkesan lemah didaerah tersebut.
“Sampai mengorbakan masyarakat dijadikan kambing hitam dan korban dari oknum hanya untuk kepentingan tertentu,” katanya
Kehidupan di Kabupaten Lingga yang selama ini sudah berlangsung aman dan tentram menjadi gaduh dan membuat seakan akan aparat hukum terkesan lemah dalam penerapannya.
Padahal, apa yang terjadi sesungguhnya tidaklah separah seperti apa yang diisukan. Mafia yang disuarakan sulit diberantas disini sebenarnya hanyalah segelintir rakyat yang butuh makan.
“Dimana mereka bertahan dengan pekerjaan yang tidak tetap sehingga mencari jalan lain dengan peluang kearifan lokal yang ada di Lingga ini,” tuturnya lagi.
Belum lama baru berangsur pulih, masyarakat Indonesia dikejutkan lagi dengan kenaikan harga BBM karena imbas dari kenaikan anggaran subsidi dan kompensasi energi yang ditanggung pemerintah.
Otomatis keadaan ini juga menimbulkan dampak buruk bagi kelangsungan hidup dikalangan masyarakat kecil di pulau kecil kita ini. Bak pepatah, “sudahlah jatuh tertimpa tangga”.
Bagaimana tidak? Sudahlah kurangnya lapangan pekerjaan yang selama ini menjadi PR besar dibumi Bunda Tanah Melayu, ditambah kondisi seperti ini membuat masyarakat terhenti untuk pulih dari terpuruknya ekonomi.
Jadi, “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat”yang Pemerintah Indonesia galakkan pada HUT Kemerdekaan yang ke-77 tak lama ini seakan-akan hanya sebagai slogan belaka.
Tidak sejalan dengan apa yang di aplikasikan pada kehidupan nyata di Kabupaten ini.
Masyarakat tunggang lumus mencari penghasilan, dimana hanya untuk menghidupi keluarga tapi terhambat dan seperti anggap musuh terbesar di kampung halaman sendiri.
Salah persepsi dan penyudutan tanpa klarifikasi dan crosscheck yang jelas.
Lantas siapa yang akan bertanggung jawab atas kesulitan dan masalah kemanusiaan ini?
Lingga butuh solusi bukan sekedar regulasi yang membuat masyarakat mati kutu tak berdaya. (Red)